HIJAB WANITA MUSLIMAH SESUAI ISLAM
kerudung muslimahAlhamdulillah akhir - akhir ini banyak diantara saudari muslimah kita yang mulai melindungi diri mereka dengan jilbab. Kenyataan ini cukup menggembirakan bagi masyarakat islam. Namun apakah jilbab yang dikenakan kebanyakan saudari muslimah kita sudah sesuai tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam??? Apakah jilbab yang mereka kenakan adalah jilbab sebagaimana yang dikenakan teladan muslimah ‘Aisyah radliyallahu’anha??? Apakah jilbab yang mereka kenakan adalah jilbab sebagaimana yang dikenakan oleh wanita - wanita shalihah pada masa kurun terbaik (para shabiyah)??? Alangkah baik jika bagi saudari muslimah semuanya untuk menelaah petikan ilmu dari Imam al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albany berikut ini. Semoga membawa manfaat dan perubahan bagi saudariku muslimah…Inilah kriteria jilbab untukmu wahai muslimah…
1. MELIPUTI SELURUH BADAN SELAIN YANG DIKECUALIKANSyarat ini terdapat dalam firman Allah dalam surat An-Nuur : 31 berbunyi : “Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudar mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (=keponakan) atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”Juga firman Allah dalam surat Al-Ahzab : 59 berbunyi : “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mumin : “Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya : “Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi, kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.” Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”Al-Qurthubi berkata : Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya : “Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Allah Pemberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”
2. BUKAN BERFUNGSI SEBAGAI PERHIASANIni berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 31 berbunyi : “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.” Secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 33 : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah.”Juga berdasarkan sabda Nabi : “Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah dan mendurhakai imamnya serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Dikeluarkan Al-Hakim 1/119 dan disepakati Adz-Dzahabi; Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad; At-Thabrani dalam Al-Kabir; Al-Baihaqi dalam As-Syuaib).Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).
3. KAINNYA HARUS TEBAL (TIDAK TIPIS)Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali harus tebal. Jika tipis, maka hanya akan semakin memancing fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : “Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” Di dalam hadits lain terdapat tambahan : “Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian.” (At-Thabrani dalam Al-Mujam As-Shaghir hal. 232; Hadits lain tersebut dikeluarkan oleh Muslim dari riwayat Abu Hurairah. Lihat Al-HAdits As-Shahihah no. 1326).Ibnu Abdil Barr berkata : Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itutetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang. (dikutip oleh As-Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik III/103).Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsannya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qubthiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata : Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidk melihatnya sebagai pakaian yang tipis ! Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak tipis, namun ia mensifati (menggambarkan lekuk tubuh). (Riwayat Al-Baihaqi II/234-235; Muslim binAl-Bitthin dari Ani Shalih dari Umar).Atsar di atas menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang mensifati dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh adalah dilarang. Yang tipis (transparan) itu lebih parah daripada yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal). Olehkarena itu Aisyah pernah berkata : “Yang namanya khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.”
4. HARUS LONGGAR (TIDAK KETAT) SEHINGGA TIDAK DAPAT MENGGAMBARKAN SESUATU DARI TUBUHNYAUsamah bin Zaid pernah berkata : Rasulullah pernah memberiku baju Quthbiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkanPendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya : Baju, khimar dan milhafah (mantel). (Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf II:26/1).Ini semua juga menguatkan pendapat yang kami pegangi mengenai wajibnya menyatukan antara khimar dan jilbab bagi kaum wanita jika keluar rumah.
5. TIDAK DIBERI WEWANGIAN ATAU PARFUMDari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata : Rasulullah bersabda : “Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (An-Nasai II/283; Abu Daud II/192; At-Tirmidzi IV/17; Ahmad IV/100, Ibnu Khuzaimah III/91; Ibnu Hibban 1474; Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda : “Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.” (Muslim dan Abu Awanahdalam kedua kitab Shahih-nya; Ash-Shabus Sunan dn lainnya).Dari Abu Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah bersabda : “Siapapun wanita yang memakai bakhur (wewangian yang berasal dari pengasapan), maka janganlah ia menyertai kami dalam menunaikan shalat Isya yang akhir.” (ibid)Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah : Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata : Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : “Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” (Al-Baihaqi III/133; Al-Mundziri III/94).Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata : Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki (Al-Munawi dalam Fidhul Qadhir dalam mensyarahkan hadits dari Abu Hurairah).Saya (Al-Albany) katakan : Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itujauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Al-Haitsami dalam kitab AZ-Zawajir II/37 menyebutkan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dn berhias adalah termasuk perbuatan kabair (dosa besar) meskipun suaminya mengizinkan.
6. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN LAKI-LAKIKarena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyrupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya.Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria (Abu Daud II/182; Ibnu Majah I/588; Ahmad II/325; Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).Dari Abdullah bin Amru yang berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda : “Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” (Ahmad II/199-200; Abu Nuaim dalam Al-Hilyah III/321)Dari Ibnu Abbas yang berkata : Nabi melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda : “Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.” Dalam lafadz lain : “Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” (Al-Bukhari X/273-274; Abu Daud II/182,305; Ad-Darimy II/280-281; Ahmad no. 1982,2066,2123,2263,3391,3060,3151 dan 4358; At-Tirmidzi IV/16-17; Ibnu Majah V/189; At-Thayalisi no. 2679).Dari Abdullah bin Umar yang berkata : Rasulullah bersabda : “Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yangbertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” (An-Nasai !/357; Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi; Al-Baihaqi X/226 dan Ahmad II/182).Dalam haits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya.Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.
7. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN WANITA-WANITA KAFIRSyariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya : Firman Allah surat Al-Hadid : 16, berbunyi : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al-Iqtidha hal. 43 : Firman Allah “Janganlah mereka seperti…” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini (IV/310) berkata : Karena itu Allah melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang.Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) : “Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” Ibnu Katsir I/148 berkata : Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek. Jika mereka ingin mengatakan “Dengarlah kami” mereka mengatakan “Raaina” sebagai plesetan kata “ruunah” (artinyaketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46.Allah telah memberi tahukan (dalm surat Al-Mujadalah : 22) bahwa tidak ada seorang mumin yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mumin, sedangkan tindakanmenyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan
8. BUKAN PAKAIAN UNTUK MENCARI POPULARITAS (PAKAIAN KEBESARAN)Berdasarkan hadits Ibnu Umar yang berkata : Rasulullah bersabda : “Barangsiapa mengenakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnyadengan api neraka.” (Abu Daud II/172; Ibnu Majah II/278-279).Libas Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal, yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya,maupun pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya (Asy-Syaukani dalam Nailul Authar II/94). Ibnul Atsir berkata : “Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu.Maksud dari Libas Syuhrah adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat pandangannya mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.”Kesimpulannya adalah :Hendaklah menutup seluruh badannya, kecuali wajah dan dua telapak dengan perincian sebagaimana yang telah dikemukakan, jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak tipis, tidak ketat sehinggaDikutip dari Kitab Jilbab Al-Marah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah (Syaikh Al-Albany)
Pembaca mulia -, ide yang muncul ketika penulis susun risalah ini adalah keinginan untuk menyampaikan suatu nasehat untuk diri penulis sendiri, sebagai catatan harian penulis setelah merasa hati ini tetap kering ketika membaca Al-Qur’an meskipun sudah berusaha mempelajari bahasa Arab untuk memahaminya. Namun, semakin banyak penulis coba melakukan rihlah ilmiah untuk mencari nasehat-nasehat salafusshalih di kitab-kitab mereka, semakin terasa pula bahwa sebab kekeringan itu adalah kotornya hati ini. Setelah berlalunya waktu, penulis coba postkan catatan ini di room bahasa Arab online ini dengan harapan agar para pembaca dapat ikut merenungi pesan para salafusshalih tersebut. Mudah-mudahan ini termasuk bentuk pengamalan sabda Nabi bahwa الدين النصيحة “Agama adalah nasehat”.
• Pembaca mulia, alhamdulillah, kami merasa sangat bahagia ketika melihat antusias yang luar biasa dari para anggota grup maupun fanspage Bahasa Arab Online yang demikian semangat untuk mempelajari bahasa Arab. Masya Allah, ini adalah suatu kenikmatan yang patut kita syukuri karena mungkin di waktu yang sama, di kala para pembaca mengikuti kagiatan belajar atau mengulang pelajaran di rumah, di waktu itu pula ada saudara-saudara muslim kita lainnya yang masih lalai, masih terbuai dengan kehidupan hura-hura.
Di sisi lain, mungkin ada pula di antara kita yang sudah cukup lama mempelajari bahasa Arab, tetapi kekeringan dan kotornya hati masih kita rasakan.
Ya, mungkin di antara kita ada yang sudah lama mengenal yang namanya “ngaji”.
Kita sudah lama mengenal bahasa Arab…
Atau….
Kita sudah lama membaca Al-Qur’an…
Kita sudah lama membaca hadits-hadits nabi…
Kita sudah lama mendengar nasehat ulama…
Kita sudah lama mengikuti majelis ta’lim…
Namun…
Mungkin di antara kita masih terasa kering hatinya….
Air mata kita tak mampu meleleh di saat kalamullah diperdengarkan…
Tubuh ini masih terasa capai untuk menegakkan shalat malam…
Lisan ini masih diam ketika melihat kemungkaran….
Tangan ini masih tak bergerak di kala orang-orang yang kita kenal bermaksiat…
Ya…
Mungkin banyak di antara kita sudah lama “ngaji”, tetapi kita belum merasakan manisnya ilmu…
• Maka, dalam risalah ini, penulis coba susunkan untaian nasehat salafusshalih bagi diri penulis pribadi dan bagi setiap muslim yang ingin mereguk nikmatnya ilmu syar’i. Penulis memohon kepada Allah ta’ala agar apa yang penulis tuangkan dalam risalah ini, murni dan tulus meluncur dari hati penulis kepada pembaca, sehingga nasehat ini dapat bersemayam di hati pembaca...
Pembicaraan dari hati, ‘kan mengalir ke hati pula…
Dan hati pun dapat memahaminya tanpa beban…
Di antara hal yang perlu diperhatikan jika kita merasa kita belum bisa merasakan manisnya ilmu adalah
I. Sudah ikhlaskah kita
• Pembaca mulia, langkah awal yang paling harus kita tanamkan dalam belajar bahasa Arab adalah meluruskan niat kita. Sudah ikhlaskah kita dalam mempelajari bahasa Arab? Mengapa dulu kita ikut bergabung dengan Bahasa Arab Online ini? Apakah sekadar iseng, atau sekadar ingin bisa baca tulisan Arab gundul agar kelihatan “keren”, atau ingin dikatakan mahir berbagai bahasa, ataukah karena memang ingin memahami bahasa Al-Qur’an? Perhatikanlah pesan Nabi kita berikut ini.
“Barangsiapa mempelajari satu ilmu dari ilmu-ilmu yang seharusnya digunakan untuk mengharap wajah Allah, dia tidak mempelajarinya kecuali untuk memperoleh dengannya satu tujuan dunia, maka dia tidak akan mendapati baunya surga pada hari kiamat, yaitu bau harumnya surga”1
• Renungkanlah dalam-dalam pesan Nabi kita di atas wahai saudaraku. Jangan jadikan sarana menuju surga menjadi tujuan-tujuan rendah seperti kita belajar bahasa Arab adalah karena salah satu bahasa resmi PBB, untuk cari upah ngajar, untuk jadi diplomat di Arab, dan sejenisnya. Betapa banyak sekarang ini manusia bertanya kepada thalabul ilmi (penuntut ilmu) yang belajar bahasa Arab, “Ngapain kamu belajar bahasa Arab, mau kerja apa?” Maka wahai thalabul ilmi, katakanlah
Saya belajar bahasa Arab agar bisa memahami Al-Qur’an
Saya belajar bahasa Arab agar bisa memahami hadits-hadits Nabi
Saya belajar bahasa Arab agar bisa merasakan nikmatnya rihlah ilmiah kitab-kitab salaf.
Saya belajar bahasa Arab untuk diajarkan kepada orang lain.
Na’am. Luruskanlah niat kita! Jangan sampai kita lama mempelajari bahasa Arab, tetapi hanya digunakan untuk pamer, membanggakan diri kita sendiri, atau malah kita gunakan untuk “mengakali” kaum muslimim yang awam.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian belajar ilmu untuk bermegah-megah dengan ulama, atau untuk mengelabui orang bodoh, atau untuk menyombongkan diri di majelis. Barangsiapa melakukan demikian, neraka! Neraka!”2
• Jangan sampai kita mengikuti berbagai kursus bahasa Arab, atau masuk ke berbagai lembaga bahasa, atau bahkan mengikuti jenjang perkuliahan, namun tujuan kita hanya untuk mencari gelar dan ijazah. Demi Allah, gelar-gelar seperti Lc, S.S, M.A, bahkan Doktor lingustik pun sama sekali tidak akan bermanfaat bagi diri kita, kecuali hanya untuk berbangga-bangga diri. Kalaupun ada manfaatnya, paling hanya sekadar untuk mencari “dunia”. Betapa banyak pula sebagian kaum muslimin memotivasi saudaranya untuk belajar bahasa Arab karena dikatakan bahwa bahasa Arab adalah salah satu bahaya resmi di kantor PBB. Maka, ketahuilah bahwa selayaknya motivasi kita belajar bahasa Arab tidak serendah alasan-alasan di atas. Belajarlah bahasa Arab karena motivasi memahami Islam, karena bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an, bahasa sunnah nabi-Nya, dan bahasa yang kitab-kitab para ulama ditulis dengannnya, serta bahasa pemersatu umat Islam di berbagai penjuru dunia.
• Ikhwah sekalian, kalau sekadar pintar bahasa Arab, Abu Jahal, Abu Lahab, dan para pembesar Quraisy yang memusuhi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang fasih dalam berbicara bahasa Arab. Namun, mereka semuanya kekal di neraka karena bahasa Arab yang mereka kuasai, tidak mereka gunakan untuk menerima risalah nubuwwah dari nabi kita. Nah, apakah kita ingin seperti Abu Jahal dan Abu Lahab? Tentu tidak bukan? Maka, luruskankah niat kita.
• Demikian pula, kalau sekadar ingin jadi ahli tata bahasa Arab, maka tidak sedikit ahli tata bahasa Arab justru tergelincir kepada bid’ah dan penyimpangan. Maka, kita mendengar nama besar Az-Zamakhsyari, sebagai ulama tafsir, dengan kitab tafsirnya yang terkenal, Al-Kasyaf. Beliau juga dikenal sebagai ahli nahwu, dengan karya-karya beliau yang terkenal, di antaranya Al-Mufsil fin Nahwi dan Syarh Abyat Kitab Sibawaih. Akan tetapi, beliau beraqidah Mu’tazilah3.
Ibnul Jauzi juga menyebutkan pembahasan khusus dalam kitab talbis iblis, tentang bagaimana dungunya ahli nahwu bernama Ishaq bin Ibrahim bin As-Sary. Kedunguannya itu muncul karena ilmu bahasa yang dikuasainya, tidak dimanfaatkan untuk mempelajari ilmu-ilmu syar’i.
Maka, ketahuilah bahwa niat yang ikhlas merupakan modal terpenting dalam menjaga ilmu. Oleh karena itu, Ibnu Abbas mengatakan,
Sesungguhnya, seseorang bisa menjaga (ilmunya) seukuran niatnya”4
II. Perbuatan maksiat dan dosa
• Saudara-saudariku yang dirahmati Allah, jika kita sudah mulai belajar bahasa Arab, atau mungkin kita sudah lama mempelajarinya, tetapi kita masih kesulitan dalam menguasainya, hendaklah yang pertama kali kita lakukan adalah menginstropeksi diri kita, apakah kita banyak melakukan dosa dan maksiat atau tidak, karena dosa-dosa yang kita lakukan akan menghambat masuknya ilmu ke dalam diri kita.
Salah satu shahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud berkata,
“Sungguh, aku menyangka bahwa seseorang melupakan suatu ilmu yang telah ia ketahui karena sebab dosa yang ia amalkan”
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء; I/131)
Renungkanlah pula indahnya untaian kata Imam Asy-Syafi’i berikut ini
شكوتُ إِلى وكيعٍ سوءَ حِفظي … فأرشدني إِلى تَرْكِ المعاصي
وأخبرني بأن العلمَ نورٌ … ونورُ اللّهِ لا يُهدى لعاصي
Aku mengadu kepada Waqi’ tentang buruknya hafalanku
Maka, dia membimbingku untuk meninggalkan maksiat
Ia pun memberitahu diriku bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat
Sungguh, di antara perkara yang yang membuat hati ini sedih adalah ketika kita dapati sebagian penuntut ilmu mulai menganggap remeh perbuatan maksiat.
Di antara sarana menuju perbuatan maksiat yang sekarang ini mudah dilakukan adalah jejaring sosial facebook. Betapa banyak penuntut ilmu mulai bermudah-mudahan dalam memasang foto profil bergambar makhluk bernyawa, gambar wanita, saling memberi komentar iseng di wall lawan jenis, dan perkara-perkara lain di dunia FB yang mungkin kita anggap remeh, padahal barangkali itu adalah dosa yang tidak kita sadari.
Ikhwah sekalian, cobalah kita bandingkan rasa sensitif kita terhadap maksiat dengan rasa sensitif salaf. Dahulu, Umar bin Abdul Aziz mewanti-wanti penasehatnya, Maimun bin Mahran agar tidak berdua-duaan dengan wanita meskipun dengan alasan mengajarkan Al-Qur’an.
Aku memberi wasiat kepadamu dengan wasiat yang harus kau jaga. Janganlah Engkau berdua-duaan dengan wanita bukan mahrammu walaupun batinmu berkata bahwa kau Akan mengajarinya Al-Qur’an.
[ lihat kitab: حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, V/272]
Maka, hendaknya kita pun memegang erat-erat wasiat Umar tersebut. Jangan merasa diri kita aman dari fitnah.
Oleh karena itu, hati-hatilah –semoga Allah merahmatimu- dalam menghadapi faktor-faktor bencana. Oang yang mendekati fitnah, sulit selamat darinya. Sebagaimana kehati-hatian diiringi dengan keselamatan, mendekati fitnah itu diiringi dengan kebinasaan. Jarang orang selamat dari fitnah karena mendekatinya. Yaitu, ia tidak terbebas dari memikirkan, membayangkan, dan menginginkannya. Semua ini menggelincirkan.
(ذم الهوى, hal.153)
Melanjtukan perkataan di atas, Ibnul Jauzi memberi nasehat berikut ini
Seandainya berduaan dengan wanita ajnabiyyah (bukan mahram) diperbolehkan, kamu tetap tidak dapat selamat dari penyakit-penyakit ini. Terlebih lagi, ternyata itu diharamkan.
(ذم الهوى, hal.153)
• Maka, jika di antara pembaca yang dapat kemudahan untuk memanfaatkan teknologi internet, berhati-hatilah! Gunakanlah ia seperlunya saja. Jangan sampai kita gunakan untuk bermudah-mudahan untuk mengerjakan maksiat, seperti chatting / facebook-an dengan wanita bukan mahram tanpa hajah. Bahkan, meskipun kami mengelola program bahasa Arab online ini, kami tetap memberi pesan kepada pembaca mulia bahwa seandainya Anda bisa belajar langsung tatap muka dengan seorang guru, lakukanlah! Ini karena pembelajaran bahasa yang efektif bagaimanapun juga adalah dengan tatap muka dengan seorang pembimbing. Terdapat banyak hal yang tidak Anda dapatkan di program online ini, seperti diskusi langsung, patner bicara, dan banyak hal lain. Kalaupun ada banyak kendala yang Anda temui sehingga Anda mengikuti program di internet, jagalah mata dan hati kita dari fitnah dunia maya yang merusak. Banyak sekali kesempatan bermaksiat di internet, yang jika dilakukan, tidak ada yang melihatya selain Allah, malaikat pencatat, dan kita sendiri.
Hendaklah hafalan Al-Qur’an kita jadikan tolak ukur apakah ketika kita memanfaatkan internet, kita bermaksiat ataukah tidak.
Ja’far bin Sulaiman berkisah,
“Malik bin Dinar adalah salah satu di antara orang-orang yang paling hafal Al-Qur’an. Setiap hari, ia membaca satu juz Al-Qur’an di hadapan kami sampai khatam. Jika ada satu huruf yang terlewatkan, ia berkata, “Akibat dosa yang kulakukan.”
• Subhanallah, fa aina nahnu minhu? Perhatikan, satu huruf saja yang terlewat, Malik bin Dinar sudah bisa merasakan bahwa itu akibat dosa yang dilakukan. Padahal, manusia melihat Malik bin Dinar bukan sebagai ahli maksiat, tetapi ulama besar penghafal Al-Qur’an dan Hadits yang senantiasa menjaga diri dari maksiat. Betapapun kecil dosa yang dilakukannya, ia sudah bisa merasakannya. Adapun kita? Bandingkan kita dengan Malik bin Dinar ya ikhwaaan…
III. Lihatlah Teman dekat kita
Pembaca mulia, teman merupakan faktor penting yang akan memengaruhi kita, apakah akan mendorong kita ke dalam ketaatan ataukah justru akan menggembosi kita sehingga kita terjerumus dalam kemaksiatan.
Rasulullah bersabda,
“Seseorang itu sesuai dengan agama temannya. Maka, hendaklah seseorang memperhatikan siapa teman dekatnya”5
Maka, hendaknya kita berupaya mencari lingkungan tempat tinggal (kost-kostan, wisma, asrama, dan sejenisnya) yang para penghuninya mempunyai perhaatian terhadap dien. Di situlah akan muncul suasana saling nasehat-menasehati.
Shahabatku sekalian, jika kita tinggal di tempat yang di situ diperdengarkan musik, apakah kita berani menjamin telinga kita selamat dari alunan nadanya?
Jika kita tinggal di tempat yang para penghuninya adalah pecandu game, pembaca komik, pemain musik, di mana letak kecemburuan kita terhadap Islam ini?
• Ketahuilah wahai saudaraku semua, jika kita melihat kemungkaran di mata, kita mempunyai kewajiban untuk mengingkarinya, bukan membiarkannya. Jika kita tidak mampu mencegah kemungkaran tersebut dengan tangan, maka paling minimal yang harus kita lakukan adalah mengingkari di dalam hati. Lalu, jika kita setiap hari bergaul dengan teman-teman fasik yang tidak punya gairah terhadap agama, apakah kita bisa menjamin hati ini akan mengingkari kemungkaran yang dilakukan teman-temannya tersebut? Atau malah kita sendiri yang akan terseret arus…? Fa na’udzubillahi min dzalik
Shahabatku… Alangkah indahnya sekiranya kita hidup bersama kawan-kawan yang memiliki perhatian terhadap ilmu. Ketika kita berbuat salah, ada yang menasehati. Dan ketika kita berbuat kebaikan, kita akan disemangati.
Abul Qa’qa’ mengatakan
“Seseorang harus mencari kawan yang shalih, rajin dan suka menasehati,
agar (ia) selalu bisa bersamanya pada sebagian besar waktunya,
saling memotivasi dalam belajar dan saling menguatkan semangat sesamanya,
mengingatkannya bila ia salah, dan mendukungnya bila ia benar
dan mengevaluasi apa yang telah ia hafal, baca, diskusikan, dan kaji
tentang sebuah permasalahan dengan selalu bersama-sama 6
Penulis pernah membaca nukilan dari salaf7 yang berkata (secara makna),
Terkadang, aku merasa lebih mencintai kawan-kawanku dibanding keluargaku. Ini karena jika aku bertemu kawan-kawanku, mereka akan mengingatkanku pada akhirat. Adapun jika aku bertemu keluargaku, mereka akan mengingatkan diriku pada dunia.
Maka, perhatikanlah siapa kawan Anda.
IV. Masihkah Kesombongan Bersarang di Hati Kita?
Shahabatku…
Mungkin sewaktu kita mulai memahami suatu materi pelajaran, dan kita melihat teman-teman kita masih di bawah pemahaman kita, terbesit dalam benak kita perasaan bangga pada diri kita hingga kita akan takjub pada diri kita dan meremehkan teman-teman kita. Ketahuilah itulah yang namanya sombong.
Imam Syafi’i pernah mengatakan,
“Aku ingin agar semua makhluk mempelajari ilmu ini dan tidak sedikit pun yang dinisbatkan kepadaku”
[
• Masya Allah. Marilah kita renungkan betapa tulusnya beliau dalam menyampaikan. Maka, tidaklah kita dapatkan saat ini selain harumnya nama Imam Asy-Syafi’i, relevannya kitab-kitab beliau untuk dikaji hingga masa kini, dan tidak sedikit pula tokoh-tokoh pembenci dakwah tauhid yang dalam permasalahan fikih mengambil madzab beliau. Inilah berkah tulusnya niat beliau (sebagaimana dzahir yang bisa kita lihat dari perkataan beliau, dan kita tidak mengganggap suci seorang pun di hadapan Allah).
V. Jangan Sembunyikan Ilmumu
Di antara kita, terkadang jika telah menguasai materi tertentu yang disampaikan mudaris atau mudarisah, kita enggan untuk menyampaikannya kepada teman satu majelis kita yang belum paham. Bahkan, mungkin kita akan membiarkan teman kita tersebut dalam ketidakpahamannya agar kita bisa pamer bahwa kitalah yang berilmu. Terkadang, ada pula di antara kita yang tidak mau membimbing temannya yang belum paham agar bisa membanggakan ilmunya dihadapan mudaris karena bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mudaris dalam sesi muroja’ah.
• Wahai shahabatku… Buang jauh-jauh sifat seperti ini karena inilah yang menyebabkan ilmu menjadi tidak berfaidah. Apa gunanya kita belajar jika tidak untuk disampaikan kepada orang yang belum paham? Ketahuilah ilmu itu dipelajari untuk diamalkan dan disampaikan. Bukan untuk dipendam dan disombongkan. Janganlah kita bakhil terhadap ilmu.
Malik bin Dinar berkata,
“Jika seseorang mencari ilmu untuk diamalkan, ilmunya itu akan MELUNAKKAN HATINYA. Jika ia mencari ilmu bukan untuk diamalkan, ilmunya itu akan menambah kesombongannnya.”
[حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, II/372 ]
Abdullah ibnul Mubarak pernah berkata,
“Orang yang bakhil terhadap ilmu akan mendapatkan tiga macam cobaan: (1) meninggal dunia lalu hilang ilmunya, (2) lupa, atau (3) dicabut ilmunya lalu hilang sama sekali.”
[حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, VIII/165 ]
VI. Sudahkah Ada Rasa Takut di Hati Kita?
Ketahuilah bahwa hakikat ilmu itu bukan pada banyaknya materi pelajaran, hadits, atau surat Al-Qur’an yang kita hafal. Akan tetapi, hakikat ilmu adalah rasa takut kepada Allah.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan,
“Ilmu itu bukanlah banyaknya (hafalan) riwayat, melainkan rasa takut (kepada Allah)”
[ lihat kitab: حلية الأولياء وطبقات الأصفياء, I/131 ]
• Oleh karena itu, ketika kita semua berupaya belajar bahasa Arab, hendaknya kita niatkan untuk bisa mentadabburi Al-Qur’an. Jangan sampai kita banyak baca dan hafal ayat atau hadits, tetapi kita sama sekali tidak tahu arti dan isi dari ayat dan hadits yang kita baca dan hafal tersebut. Jangan sampai kita menghafal Al-Qur’an hanya karena ingin dikatakan sebagai qaari’. Jangan sampai pula kita menghafal hadits-hadits Nabi hanya karena ingin dikatakan sebagai “ikhwan” yang banyak hafalannya. Jangan! Janganlah kita niatkan hati kita untuk tujuan-tujuan rendah itu!
• Jadikanlah tujuan kita belajar bahasa Arab agar kita bisa menghadirkan hati untuk senantiasa takut kepada Allah, yang akan kita peroleh jika kita memahami kalamullah dan kalam nabi-Nya. Jangan sampai sedikit ilmu yang kita peroleh, menjadi sarana untuk kagum pada amal kita sendiri. Ini bukanlah ilmu, tetapi kebodohan yang tidak kita sadari.
“Seseorang cukup berilmu bila ia takut kepada Allah. Dan seseorang cukup bodoh bila ia kagum kepada amalannya sendiri”
Penutup
Demikian, risalah ini penulis susun. Kita hendaknya memohon, terus menerus memohon kepada Allah agar kita diberikan kesucian hati, karena
Jika hati kita suci, niscaya ia tidak akan pernah kenyang dari kalamullah
Akhirnya, penulis memohon kepada Allah agar penulisan risalah ini semata-mata ikhlas mengharap wajah-Nya, dan tulus dari hati penulis sehingga dapat melekat di hati pembaca.
Mudah-mudahan Allah dapat memudahkan langkah kita dalam memahami bahasa Arab, dan selanjutnya dapat memotivasi kita untuk mengkaji ilmu-ilmu syar’i secara lebih luas. Ya Allah, mudahkanlah… Ya Allah, mudahkanlah…
Tuntaslah sebuah pembicaraan
Hanya Allah yang pantas mendapatkan pujian
Allah memiliki kemuliaan, keagungan dan kedermawanan…
Semoga rahmat-Nya senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad…
sebanyak apa yang dijadikan burung tetukur mendengkur…
dan sebanyak daun-daun kayu gaharu…
Abu Muhammad Al-’Ashri
Posted By: Nurul Mukhlishoh Izzuddin